Ridha Allah SWT

16 10 2010

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga perkara pula. Allah meridhai kalian bila kalian: (1) Hanya beribadah kepada Allah semata, (2) Dan tidak mempersekutukan-Nya, (3) Serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya, dan janganlah kalian berpecah belah Dan Allah membenci kalian bila kalian: (1) Suka qiila wa qaala (berkata tanpa dasar), (2) Banyak bertanya (yang tidak berfaedah), (3) Menyia-nyiakan harta” (HR. Muslim no. 1715)





“Sesungguhnya, shalat yang paling terasa berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Fajar. Seandainya mereka mengetahui pahala keduanya niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak-rangkak. [Syarhun Nawawi ‘alaa Shahiihi Muslim-V/160] Sungguh aku pernah bercita-cita untuk memerintahkan agar dikumandangkan Iqamah untuk shalat, kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami jama’ah, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki yang [masing-masing] membawa seikat kayu bakar menuju kaum yang tidak menghadiri shalat berjama’ah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.[Muttafaq’alaih: Al-Bukhari, kitab al-Aadzan, bab wujuubu shalaatil jama’ah-no.644- dan Muslim, kitab ash- shalaah, bab Fadhlu Shalaatil Jama’ati wa bayaanut tasydiidi fit takhallufi’an-haa-no.651-]

16 10 2010




Rasulullah Berdzikir dengan Jari Kanannya, Tanpa Alat Tasbih

14 10 2010

Rasulullah Berdzikir dengan Jari Kanannya, Tanpa Alat Tasbih

Banyak sebagian orang setelah sholat fardhu mereka berdzikir dengan kedua tangannya (tangan kanan dan tangan kiri) atau berdzikir dengan menggunakan tasbih (bijian) yang merupakan suatu perkara baru dalam agama, dari hadits dibawah ini rasulullah bertasbih dengan jari kanannya. Simak Hadits shohih yang sama berikut ini. عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ x قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ. Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu, dia berkata: “Saya melihat Rasulullah bertasbih dengan (jari-jari) tangan kanannya.” [304] [304] HR. Abu Dawud (2/81), At-Tirmidzi (5/521), dan lihat Shahihul Jami’ (4/271, no. 4865). Penjelasan: Dalam hadits ini disyari’atkannya bertasbih dengan jari jemari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menerangkan alasannya, antara lain dalam riwayat yang menyebutkan bahwa jari jari itu akan ditanya dan akan berbicara sebagai saksi bahwa mereka mengetahui hal itu (Lihat Tuhfatul ahwadzi syarh Sunan at Tarmidzi)

Rasulullah Berdzikir dengan Jari Kanannya, Tanpa Alat Tasbih





Kapankah Do’a dikabulkan?

13 08 2010

Berikut ada beberapa waktu dimana do’a yang kita panjatkan insya 4JJI akan dikabulkan oleh 4JJ1 SWT :

1. Sepertiga Malam Terakhir
Dari Abu Hurairah ra : Rasulullah SAW bersabda,” Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga akhir malam,lalu berfirman,” Barang siapa yang berdo’a maka Aku kabulkan,Barangsiapa yang memohon pasti Aku perkenankan dan Barangsiapa yang meminta ampun,pasti Aku akan mengampuni ” ( Shahih Al Bukhari,Kitab Da’awat bab do’a Nifsulail 7/149-150 )

2. Ketika Berbuka Puasa
Dari Abdullah bin Amr Bin Ash bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda ,” sesungguhnya bagi orang yang berpuasa pada saat berbuka ada do’a yang tidak ditolak ” ( Sunan Ibnu Majah bab Fis Syiam La Turaddu Da’ watuhu I /321 No.1775. Hakim dalam kitab Mustadrak I/422 )

3. Selepas Sholat Fardhu
Dari Abu Umamah, Sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang do’a yang paling didengar Allah SWT,Beliau menjawab,” Dipertengahan malam yang akhir dan setiap selesai sholat fardhu “( Sunan Al Tarmidzi,bab Jamiud Da’awat 13/30,disahihkan oleh Al Albani dalam sahih sunan At Tarmidzi 3/ 167-168 No.2782 )

4. Ketika Perang Berkecamuk
Dari Sahl bin Sa’ad bahwa Rasulullah Saw bersabda,” Ada dua do’a yang tidak bertolak atau jarang tertolak, do’a pada saat Adzan dan do’a tatkala perang berkecamuk ” ( Sunan Abu Daud, kitab Jihad 3/21 No.2540 )

5. Pada Hari Jum’at
Dari Abu Hurairah : Rasulullah Saw bersabda,” Sesungguhnya pada hari jum’at ada satu saat yang tidak bertepatan seorang hamba muslim sholat dan memohon suatu kebaikan kepada Allah melainkan akan diberikan kepadanya,beliau berisyarat dengan tangannya akan sedikitnya waktu tersebut.” ( Sahih Al Bukhari Da’awat 7/166,sahih muslim,Kitab Jumuh 3/5-6 )

6. Ketika Bangun tidur bagi siapa saja yang tidur dalam keadaan suci
Dari Amr Bin ‘Anbasah bahwa Rasulullah Saw bersabda : ” Tidaklah seorang hamba tidur dalam keadaan suci lalu terbangun pada malam hari kemudian memohon sesuatu tentang urusan dunia atau akhirat melainkan Allah akan mengabulkannya ” ( Sunan Ibnu Majjah bab Do’a 2/352 No. 3924,Disahihkan oleh Al Mundziri 1/371 No. 595 )

7. Diantara Adzan Dan Iqomah
Dari Anas Bin Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda,” Do’a tidak akan ditolak antara adzan dan iqomat” ( Sunan Abu Daud kitab sholat 1/144 No. 521, Sunan At Tirmizi bab Jamiud Da’awat 13/87, Sunan Al Baih kitab Sholat 1/410 )

8. Ketika Sujud Dalam Sholat
Dari Ibnu Abbas : Rasulullah Saw Bersabda,” Adapun pada waktu sujud ,maka bersungguh-sungguhlah berdo’a sebab saat itu sangat tepat untuk dikabulkan ” ( Shahih Muslim kitab Sholat bab Nahl An Qiratul Qur’an Fi Ruku’ wa sujud 2/48 )

9. Ketika Kehujanan
Dari Sahl Bin Sa’ad Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ” Dua Do’a yang tidak pernah ditolak : Do’a pada waktu adzan dan Do’a waktu kehujanan ” ( Mustadrak Hakim dan disahihkan oleh Adz- Dzahabi 2/ 113-114 )

10. Menjelang Ajal Tiba
Dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah Saw mendatangi Abu Salamah ( pada hari wafatnya ), beliau mendapatkan kedua mata Abu Salamah terbuka lalu beliau memejamkannya kemudian bersabda,” Sesungguhnya tatkala ruh dicabut maka pandangan mata akan mengikutinya.” Semua keluarga histeris.Beliau bersabda : ” janganlah kalian berdo’a untuk diri kalian kecuali kebaikan, sebab  para malaikat mengamini apa yang kamu ucapkan .” ( Sahih Muslim kitab janaiz 3/38 )

11. Pada Malam Lailatul Qadar
Allah SWT berfirman ,” malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.Pada malam itu turun malaikat -malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.” ( QS Al Qadar : 3-5)
Imam Asy Syaukani berkata bahwa kemuliaan lailatul qadar mengharuskan do’a setiap orang dikabulkan ( Tuhfatud Dzakirin hal 56 )

12. Pada Hari Arafah
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Nabi Muhammad Saw bersabda ,” Sebaik-baik do’a adalah pada hari arafah ” ( Sunan At Tirmizi bab jamiud da’awat 13/83 )





Waktu Mustajab Diantara Adzan Dan Iqomah

11 08 2010

Dari Anas Bin Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda,” Do’a tidak akan ditolak antara adzan dan iqomat
( Sunan Abu Daud kitab sholat 1/144 No. 521, Sunan At Tirmizi bab Jamiud Da’awat 13/87, Sunan Al Baih kitab Sholat 1/410 )

Sering kita jumpai bahwa sebuah jamaah yang akan menunaikan sholat berjamaah dalam suatu masjid menyegarakan atau lebih tepatnya terburu-buru dalam mengumandangkan Iqomah untuk melakukan Sholat Jamaah. Bahkan jarak antara adzan dan iqomah tidak lebih dari 5 menit atau kurang dari itu. Hingga tidak ada kesempatan bagi para jamaah untuk melaksanakan sholat sunnah tahiyatul masjid, sholat sunnah Qobliyyah dan berdo’a.. Bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang menyegerakan sholat [bukan melakukannya dengan terburu-buru]

Dari Ibnu Abbas ra, “Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada sholat baginya, terkecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama).”                                                                                                   (HR Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih).

Namun sebaiknya ada jeda yang cukup untuk melakukan sholat sunnah dan memanjatkan do’a. Bukan berarti memperlambat pelaksanaan waktu sholat berjamaah. Sekiranya jeda waktu sudah cukup dan jamaah sudah berkumpul semua maka segera melaksanakan sholat. Wallahu a’lam Bishowab. Semoga Allah memberikan hidayahnya.

Indahnya Sholat Berjamaah…

Setiap Langkah Menuju Masjid untuk Melaksanakan Shalat Jama’ah akan Meninggikan Derajatnya dan Menghapuskan Dosa; juga Ketika Menunggu Shalat, Malaikat Akan Senantiasa Mendo’akannya

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِى الصَّلاَةِ مَا كَانَتِ الصَّلاَةُ هِىَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلاَئِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِى مَجْلِسِهِ الَّذِى صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ

Shalat seseorang dalam jama’ah memiliki nilai lebih 20 sekian derajat daripada shalat seseorang di rumahnya, juga melebihi shalatnya di pasar. Oleh karena itu, jika salah seorang di antara mereka berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi masjid, tidaklah mendorong melakukan hal ini selain untuk melaksanakan shalat; maka salah satu langkahnya akan meninggikan derajatnya, sedangkan langkah lainnya akan menghapuskan kesalahannya. Ganjaran ini semua diperoleh sampai dia memasuki masjid. Jika dia memasuki masjid, dia berarti dalam keadaan shalat selama dia menunggu shalat.  Malaikat pun akan mendo’akan salah seorang di antara mereka selama dia berada di tempat dia shalat. Malaikat tersebut nantinya akan mengatakan: Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, terimalah taubatnya. Hal ini akan berlangsung selama dia tidak menyakiti orang lain (dengan perkataan atau perbuatannya) dan selama dia dalam keadaan tidak berhadats.





Adab-adab Berpuasa

11 08 2010
Penulis : Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi

A. Makan Sahur
Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash z bahwa Rasulullah n bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ

“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Dari Salman z, Rasulullah n bersabda:

الْبَرَكَةُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: الْجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْدِ وَالسَّحُوْرِ

“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani, 6/251, dengan sanad yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum An-Nabi oleh Ali Al-Halabi, hal. 44)
Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit z, ia berkata:
Kami makan sahur bersama Rasulullah n kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan1 dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat sebelum adzan Shubuh adalah perbuatan bid’ah karena dalam ajaran nabi n tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah n bersabda:

إِذَا أَذَّنَ بِلاَلٌ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍِ

“Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya.
Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:

إِذَ سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءُ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, 2/418-419)
Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Berkata Ibnul Mundzir: “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya berdasarkan hadits Anas bin Malik z bahwa Rasulullah n bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah, karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada barakahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, dan boleh dengan yang lain berdasarkan hadits Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n bersabda:

نِعْمَ السَّحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, Al-Baihaqi, 4/236, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit.
Firman Allah k:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187)
Berkata As-Sa’di t: “Padanya terdapat (dalil) bahwa jika (seseorang) makan dan semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya fajar maka (yang demikian) tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 87)

B. Berbuka Puasa
Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجَلَ النَّاسِ إِفْطًارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُوْرًا

“Para shahabat Muhammad n adalah orang yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar t menshahihkan sanadnya)
Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t:
“Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’)
Buka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekedar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.
Mempercepat buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah n. Sahl bin Sa’ad z meriwayatkan Rasulullah n bersabda:

لاَ تَزَالُ أُمَّتِيْ عَلَى سُنَّتِيْ مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُوْمَ

“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. Al-Hakim, 1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi hal. 63)
Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad z bahwa Rasulullah n bersabda:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِّطْرَ

“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)
Mempercepat berbuka puasa adalah perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nashara. Abu Hurairah z berkata, Rasulullah n bersabda:

لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Senantiasa agama ini nampak jelas selama manusia mempercepat buka puasa karena Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, 2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, An-Nasai dalam Al-Kubra, 2/253, dan Ibnu Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Selain itu, mempercepat buka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah x:

ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَالتَّأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ

“Tiga hal dari akhlak kenabian: mempercepat berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ad-Daruquthni, 1/284, dan Al-Baihaqi, 2/29)
Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits Anas z bahwa Rasulullah n berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib) dan makanan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin Malik z berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Adalah Nabi n berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat (Maghrib), bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma yang matang), bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, 2/2356, dan At-Tirmidzi, 3/696, Ad-Daruquthni, 2/185, dengan sanad yang shahih, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى

“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah k.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, 2/255, Ad-Daruquthni, 2/185, Al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar c dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah z, bersabda Rasulullah n:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya” (HR. Bukhari no. 1804)

1 Yang dimaksud adalah iqomah, karena terkadang iqomah disebut adzan, wallahu a’lam. Yang dimaksud dengan sahur adalah akhir waktu sahur yaitu ketika masuk waktu shubuh, sebagaimana akan lebih jelas pada artikel ‘Sahur dan Berbuka’, -red.

Pembatal Puasa

a. Makan dan minum dengan sengaja
Allah k berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (Al-Baqarah: 187)
Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah n:

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)

b. Keluar darah haidh dan nifas
Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah x:
“Adalah kami mengalami (haidh), maka kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama telah sepakat dalam perkara ini.

c. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan
Hal ini berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara terus-menerus, dan bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin. Tidak ada qadha baginya menurut pendapat yang kuat. Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha dan tidak pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَةَ

“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. Al-Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, Ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu Hibban, 8/3521, dan Al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)
Kata ifthar mencakup makan, minum dan bersetubuh. Inilah pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah.

d. Berbekam
Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih, berdasarkan hadits Rasulullah n:

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” (HR. At-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/2367;2370;2371, An-Nasai, 2/228, Ibnu Majah no. 1679,dan lainnya)
Hadits ini shahih dan diriwayatkan dari kurang lebih 18 orang shahabat dan dishahihkan oleh para ulama seperti Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnul Madini dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.
Ada beberapa perkara lain yang juga disebutkan sebagian para ulama bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa, di antaranya:

a. Muntah dengan sengaja
Namun yang rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah membatalkan puasa secara mutlak sengaja atau tidak sengaja. Sebab asal puasa seorang muslim adalah sah, tidaklah sesuatu itu membatalkan kecuali dengan dalil. Adapun hadits Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barangsiapa yang dikalahkan oleh muntahnya maka tidak ada sesuatu atasnya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka hendaklah dia meng-qadha (menggantinya).” (HR. Ahmad, 2/498, At-Tirmidzi, 3/720, Abu Dawud, no. 2376 dan 2380, Ibnu Majah no. 1676)
Hadits ini dilemahkan oleh para ulama, di antaranya Al-Bukhari dan Ahmad. Juga dilemahkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t.
Namun jika muntah tersebut keluar lalu dia sengaja memasukkannya kembali maka hal ini membatalkan puasanya.

b. Menggunakan cairan penngganti makanan seperti infus
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, dan yang rajih bahwa suntikan terbagi menjadi dua bagian:
1). Suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan maka hal ini membatalkan puasanya, sebab nash-nash syari’at bila didapatkan pada sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.
2).Suntikan yang tidak berkedudukan sebagai pengganti makanan, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafadz maupun makna, tidak dikatakan makan dan tidak pula minum dan tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Dan asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dalam Fatawa Islamiyyah: 2/130, fatwa Asy-Syaikh Bin Baaz t dalam Fatawa Ramadhan: 2/485, dan Fatwa Lajnah Da’imah: 2/486, dan fatwa Syaikhul Islam t dalam Haqiqotus Shiyam: 54-60).
Namun Asy-Syaikh Muqbil t menasehatkan bagi orang yang sakit untuk berbuka dan tidak berpuasa agar tidak terjatuh ke dalam sesuatu yang menimbulkan syubhat. (Min Fatawa Ash-Shiyaam: 6)

c. Onani
Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan melakukannya baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah k berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ

“Dan (mereka adalah) orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istrinya atau budak wanita yang mereka miliki. Maka sesungguhnya (hal itu) tidak tercela. Maka barangsiapa yang mencari selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7)

Hal-Hal yang Diperbolehkan Bagi Orang yang Berpuasa

a. Bersiwak
Rasulullah n bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak shalat.” (Muttafaq ‘alaih)

b. Masuknya waktu fajar dalam keadaan junub
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah c bahwa Nabi n mendapati waktu fajar dalam keadaan junub setelah (bersetubuh dengan) istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (Muttafaq ‘alaihi)

c. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan
Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:

وَبَالِغْ فِي اْلإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali bila kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)

d. Menggauli istri selain bersetubuh
Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah x:
“Adalah Rasulullah nmencium (istrinya) dan beliau berpuasa, menggaulinya (bukan jima’) dan beliau berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaihi)

e. Mencicipi makanan dan menciumnya asal tidak memasukkan ke dalam kerongkongannya
Berkata Ibnu ‘Abbas c:
“Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu (yang lain) selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa.” (Diriwayatkan Al-Bukhari secara mu’allaq dan disambung sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi)

f. Mandi di siang hari
Sebagaimana yang terdapat pada kisah junub Nabi n yang telah lalu.

Perbuatan yang Dianjurkan di bulan Ramadhan

a. Memperbanyak shadaqah
b. Memperbanyak bacaan Al Qur’an, dzikir, doa, dan shalat
Ibnu ‘Abbas c meriwayatkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

“Rasulullah n adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya lalu membacakan padanya Al Qur`an.” (HR. Al-Bukhari)

c. Memberikan makan kepada orang yang berbuka puasa
Rasulullah n bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya seperti pahala (yang berpuasa) dalam keadaan tidak berkurang sedikitpun dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, 4/114, At-Tirmidzi, 3/807, Ibnu Majah, 1/1746, Ad-Darimi no. 1702, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi).

Wallahul muwaffiq.





Do’a Berbuka Puasa yang dicontohkan Rasulullah SAW

11 08 2010

Hadits yang hasan tentang doa berbuka puasa adalah sebagai berikut :
Doa yang biasa diucapkan Rasulullah SAW ketika berbuka puasa,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

“Dzahabazh zhoma-u wab tallatil ‘uruq wa tsabatal ajru insya Allah

yang artinya “Telah hilang rasa haus dan urat – urat telah basah serta pahala telah ditetapkan, insya Allah” (HR. Abu Dawud no. 2357, Ad Daraquthni III/1401 no. 2247, dan Al Hakim no. 1/422, hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Irwaa-ul Ghaliil no. 920)





Apakah Makmum Ikut Mengangkat Tangan dan Mengamini Imam Qunut Shubuh?

9 08 2010
pertanyaan ini copy dari portal konsultasisyariah.com yg salah satu narasumbernya ustadz Abdullah Roy, Lc. Semoga bermanfaat. 
// Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, ustadz, ana mau bertanya ketika kita bermakmum kepada imam yang berqunut shubuh apakah harus ikut atau diam (tidak mengangkat tangan)? Karena yang ana tahu qunut shubuh dalilnya dhaif. Mohon penjelasannya. Jazakallahu khair.

Jawab:

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Qunut shubuh termasuk perkara khilafiyyah, dan yang rajih bahwasanya amalan ini tidak disyariatkan karena tidak memiliki dalil yang shahih. Namun apabila imam berqunut shubuh maka hendaklah makmum mengikutinya, mengangkat kedua tangan dan mengamininya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنما جعل الإمام ليؤتم به

“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim).

Beliau shallallhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

يصلون لكم فإن أصابوا فلكم وإن أخطؤوا فلكم وعليهم

“Mereka (imam-imam) tersebut sholat untuk kalian, kalau mereka benar maka kalian mendapat pahala, dan kalau mereka bersalah maka kalian mendapat pahala dan mereka menanggung kesalahannya.” (HR. Al-Bukhary)

Imam Abu Dawud menyebutkan sebuah atsar dimana ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu sholat di Mina 4 rakaat dengan ijtihad beliau, maka Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku sholat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (di Mina) 2 rakaat, dan bersama Abu Bakar 2 rakaat, dan bersama Umar 2 rakaat ” yaitu dengan mengqashar sholat 4 rakaat.

Akan tetapi ketika beliau sholat di belakang ‘Utsman beliau sholat 4 rakaat, maka beliau ditanya, kenapa melakukan demikian? Maka beliau menjawab: Perbedaan itu jelek.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunannya 1/602 no: 1960)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وكذلك إذا اقتدى المأموم بمن يقنت في الفجر أو الوتر قنت معه سواء قنت قبل الركوغ أو بعده وإن كان لا يقنت لم يقنت معه ولو كان الإمام يرى استحباب شيء والمأمومون لا يستحبونه فتركه لأجل الاتفاق والائتلاف : كان قد أحسن

“Dan demikian pula jika makmum di belakang imam yang berqunut shubuh atau witir maka dia juga berqunut, sama saja apakah qunutnya sebelum ruku’ atau setelahnya, kalau imam tidak berqunut maka makmum juga tidak berqunut, dan seandainya imam berpendapat mustahabnya sebuah amalan, dan makmum tidak berpendapat demikian maka jika imam meninggalkan amalan tersebut untuk mewujudkan kesepakatan dan kerukunan sungguh dia telah berbuat baik.” (Majmu Al-Fatawa 22/267-268).

Beliau juga berkata:

ولهذا ينبغى للمأموم أن يتبع إمامه فيما يسوغ فيه الاجتهاد فاذا قنت قنت معه وإن ترك القنوت لم يقنت

“Oleh karena itu seyogyanya bagi seorang makmum mengikuti imam di dalam perkara yang boleh di dalamnya berijtihad, kalau imam qunut maka dia qunut, kalau imam meninggalkan qunut maka dia tidak qunut.” (Majmu Al-Fatawa 23/115)

Syeikh Al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya permasalahan ini maka beliau mengatakan:

ثم إذا كان الإنسان مأموماً هل يتابع هذا الإمام فيرفع يديه ويؤمن معه، أم يرسل يديه على جنبيه؟
والجواب على ذلك أن نقول: بل يؤمن على دعاء الإمام ويرفع يديه تبعاً للإمام خوفاً من المخالفة. وقد نص الإمام أحمد – رحمه الله – على أن الرجل إذا ائتم برجل يقنت في صلاة الفجر، فإنه يتابعه ويؤمن على دعائه، مع أن الإمام أحمد – رحمه الله – لا يرى مشروعية القنوت في صلاة الفجر في المشهور عنه، لكنه – رحمه الله – رخص في ذلك؛ أي في متابعة الإمام الذي يقنت في صلاة الفجر خوفاً من الخلاف الذي قد يحدث معه اختلاف القلوب

“Kemudian apabila seseorang menjadi makmum apakah mengikuti imam dan mengangkat tangan serta mengamini atau melepas kedua tangannya ke samping? Jawabannya kita katakan: Hendaknya makmum mengamini doa imam dan mengangkat tangan untuk mengikuti imam, karena ditakutkan (kalau tidak mengikuti ) ini termasuk penyelisihan terhadap imam. Imam Ahmad rahimahullahu telah menegaskan bahwa seseorang jika bermakmum kepada seseorang yang melakukan qunut shubuh maka hendaklah mengikutinya dan mengamini doanya, padahal Imam Ahmad rahimahullah dikenal termasuk orang yang berpendapat tidak disyariatkannya qunut ketika sholat shubuh, akan tetapi beliau memberi keringanan dalam hal ini, yaitu dalam masalah mengikuti imam yang berqunut shubuh karena takut perselisihan yang akhirnya terjadi perselihan diantara hati.” (Majmu Fatawa wa Rasail Syeikh Muhammad Al-Utsaimin 14/133)

Adapun jawaban atau pendapat kedua adalah sebagai berikut:

jawaban di bawah ini oleh Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan, “Adapun gerakan sholat yang tidak menyebabkan terlambat atau mendahului imam maka makmum dalam hal ini mengikuti pendapat yang dia pilih.” (Asy-Syarhul Mumthi’ 2/312 cetakan Muassasah Asam). Jadi makmum dalam hal ini cukup diam saja dan tidak perlu mengikuti imam karena qunut subuh menurut pendapat yang kuat adalah tidak disyariatkan.

Adapun dua pendapat yang berbeda ini insyaallah bisa menjadi tambahan ilmu yang bisa menjadi bahan kajian dalam majlis2 ilmu. Bukan menjadikan bahan untuk diperdebatkan yg dapat memecah belah umat.

Namun semuanya wajib kita kembalikan pada hadist rasulullah SAW tentang sholat:

صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِّي

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

(HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)

Jazzakallah Khair





Hadist tentang Obat [Habbatusauda]

5 08 2010

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya pada jintan hitam itu terdapat obat untuk segala macam penyakit kecuali kematian

Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 4104





Mau ibadah Sunnah atau Wajib?

20 05 2010

Assalaamu’alaykum Wr Wb

Bismillahirrahmaanirrahiim

Suatu hukum ibadah baik itu wajib atau sunnah, tetaplah suatu ibadah. Hendaknya kita tidak merendahkan dan menyepelekannya, kalau  hukumnya sunnah.  Namun hendaklah semua ibadah itu dilakukan semampunya untuk mencari pahala Allah dan memperbanyak amal shalih.

Nabi SAW bersabda: “Janganlah kamu meremehkan sesuatu dari kebaikan, walaupun sekedar bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria”. (HR Muslim no 2626).